BUKAN MENUNGGU



Biar kamu tahu, itu sebabnya aku memberitahumu. Perkara kamu mau tau atau tidak itu kembali padamu. Yang jelas aku memberitahumu, agar kamu tahu.
àOrang-orang hebat itu menggambarkan bahwa menunggu itu adalah pekerjaan paling berat, karena sama saja itu membunuh waktu. Menunggu itu pekerjaan yang sifatnya membosankan, sangat-sangat membosankan. Begitulah makna menunggu yang pernah aku baca. Waktu aku coba dalam hidup, dan mencoba mengenalnya lebih dalam, ternyata benar tidak ada yang salah dengan gambaran para penulis hebat itu. Bahkan saat aku lebih dekat dan erat dengannya, aku merasakan ada yang aneh, aku merasakan keanehan dalam jalannya waktu, waktu. Harusnya waktu kan statis, konsisten, permanen dan pancet, tapi ini tidak begitu, ini aneh. Ternyata waktu melambat, melambat dalam perhitungan yang sama, sama sejam sama 60 menit sama 3.600 detik dst. Jadi benarlah orang-orang hebat itu menggambarkan menunggu itu bukan pekerjaan yang mudah apalagi menyenangkan.ßbukan inisih yang ingin aku beritahu, tambahan aja haha.

Aku pilih menunggu, itu bukan pilihanku tapi pilihan keadaan. Keadaan yang harus aku jalani, dan akhirnya perjalanan itulah yang membentuk pelilihan. Aku tidak mungkin menyapamu, bagaimana tidak mungkin aku tidak menghormatinya. Dia memilikimu dan aku tidak mungkin menghilangkan kenyataan itu. Aku harus sadar dan aku tidak boleh khilaf, aku tidak boleh mengusik kalian, ataupun mendinginkan kehangatan kalian. Aku tidak mau menjadi mendung yang mengganggu senja pulang.
Yang boleh aku lakukan ya hanya itu, “menunggu” bukan mengganggu, walaupun banyak sebenarnya yang bisa aku lakukan. Sayangnnya yang banyak itu bukan jalan yang benar, dan aku sendiri tidak ingin melanggar rambu-rambu. Dan aku juga tidak  ingin melanggar aturan main, takutnya terkena diskualifikasi. Karena yang boleh hanya menunggu yaa apa boleh dikata, tanpa ada kata aku menunggu[mu]. Dan yang boleh lagi kan, aku boleh saja y[a]kin dalam [b]erdoa. Yakin adalah Hakku, doa adalah milik semuanya, tidak melanggar aturan mainkan. Aku bermain keyakinan dan berdoa juga tidak dengan cara yang kotor kok, aku bermain dengan bersih (Insya Allah).

[a]ku yakin, yakin tanpa menggunakan kata “sepertinya” pekerjaan menjemuhkan ini tidak akan berakhir dengan sia-sia. Aku menggunakan yakin dengan kata “pasti” akan diahkhiri dengan senyum. Ada dua kemungkinan senyum diakhir nanti, senyum yes[1], senyum ikhlas[2]. Dan Aku membagi keyakinan itu menjadi dua sama berat antara [1] dan [2] *teorinya. Karena aku menjalani ini dengan ikhlas, agar apapun yang terjadi nanti tetap bisa tersenyum*teorijuga. Oh iya selain yakin aku juga punya sumber penderitaan (harapan-oi) bukan [2] ini yang terjadi*hilangsudah. Sadar sih, kalo sudah muncul harapan artinya hilang sudah teori-teori itu. Aku memang ikhlas, tapi<-  ikhlas yang pakek “tapi”. Tapi ikhlasnya seorang anak pada ibunya, bukan ikhlasnya Ibu pada anaknya. Kurang lebih seperti itulah ikhlasku menjalani penantian ini (penantian=menunggu *biargaksalahpaham).
Tahu, kenapa ada yes dan ikhlas? Padahal dalam cerita ini sama-sama digambarkan dalam bentuk yang sama, senyum. Sebenarnya sudah terlalu banyak kata “karena” jadi akan aku jelaskan tanpa menggunakan kata karena seyakin-yakinnya [a]ku, aku sadar dia sudah jauh berlari didepanku, menggengga erat jemarimu, tersenyum hangat bersamamu, duduk bersama hanya sekedar mengantar pulang fajar menutup hari yang melelahkan, bahkan mungkin menari bersamamu dalam pelukan hujan (ah kalian terlalu romantis semakin membuatku tragis).
Aku sudah semiris ini dan hanya bisa menjalankan pilihan keadaan. Menunggu untuk mereka yang sedang bermaib kejar-kejaran diatas pasir lembut menyentuh kaki tanpa alas, tertangkap kemudian tertawa sembari tetap dipegang dengan erat, lalu sama-sama kelelahan akibat lari dan tawa yang membuat dunia seakan tanpa penghuni selain  mereka,  akhirnya tidak ada pilihan lagi selain duduk bersebelahan dan saling menata nafas dan tak lama setelah nafas itu lantur berhembus, fajarpun berpamit pulang pada mereka berdua. Terus kemana pelukan hujan? paling diatas motor, didalam mobil, emperan toko, atau bukan pelukan hujan tapi berpelukan pas hujan. Pelukan hujan yang mereka miliki itu menyebalkan dan hanya akan membuat semakin tragis, sebarnaya lebih baik kalo part yang ini dihilanghkan saja. pelukan hujan.
Lari erat duduk senja dan hujan, itu semua alasan yang cukup kuat kenapa harus ada senyum[2] pada akhir cerita(ku). Walaupun akhir dari senyum[2] adalah pekerjaan yang tidak mudah untuk dilakukan. Tapi aku tetap yakin apapun itu nanti aku kan tetap tersenyum[2], aku menjalani pilihan keadaan aja sanggup masak tersenyum[2] aja gak bisa. “Pasti bisa, tapi janganlah kalau bisa.” Haha.

[b]ersabar, sadari bahwa itu adalah sebaik-baiknya sahabat yang dimiliki oleh penantian. Tidak cukup baik kata penantian, terlalu tinggi kayaknya. Ganti dulu, ualangi dari awal. “Bersabarc, sadari bahwa itu adalah sebaik-baiknya sahabat yang dimiliki oleh menunggu, betterc.” Yaa bersabar akan membuat pilihan ini menjadi sedikit terasa lebih baik, sedikit. Lalu darimana dan bagaimana aku bisa meraih yang sedikit itu. Satu diantara dari dua hal yang boleh aku lakukanlah, bagaimana? ya berdoalah. Kan tadi sudah setuju bahwa doa milik semuanya, berarti milikku juga.
~jangan berfikir aku mendoakan agar terjadi sesuatu pada kalian, yang sebenarnya sesuatu itu tidak kalian inginkan, aku mendoakan agar kalian bersedih atau mungkin kamu ada dipihakku, heii aku tidak sekeji itu meski aku setragris dan semiris ini. Serius~
Lalu, aku panjatkan apa?, aku panjatkan apa yang ingin aku raih. Jangan lupakan tujuan berdoa yang disampikan sebelum kalimat-kalimat kekhawatiran itu ditulis. Bukankah tadi aku sedang berfikir bagaimana cara meraih yang “sedikit” itu, lalu aku teringat akan atauran dan rambu-rambu yang boleh dan yang tidak boleh. Dan ingatlah bahwa aku masih boleh berdoa, tentu isi doa tidak jauh-jauh dari itu. Ya TuhAn, berikanlah aku kesabaran. Hanya dengan bersabar aku dapat mempermudah dalam menjalani pilihan keadaan ini. Menunggu tanpa bersabar hanya akan membunuhku, jadi tolong Ya TuhAn jangan berikan izin aku membunuh diriku sendiri. Aku yakin EngkAu serba bisa, bisa EngkAu sabarkan aku, bisa juga EngkAu buat ku ikhlas menunggu.
Aku tidak semata-mata meminta dia menjadi milikku, atau berharap EngkAu berikan dia untukku. Ada hati kecil bersuara nyaring yang membuatku tak bisa meminta itu semua padaMu. Hati kecil itu tidak ingin melihat dia bersedih karena harus terpisah, terlebih jika benar perpisahan itu lantaran doa-doaku padaMu. Aku memang menginginkan dia, dan sangat ingin, lebih dari sangat semestinya. Tapi bukan berarti aku ingin memisahkan mereka, merusak senyum mereka, lalu membuat dia sedih. Enggak, dan bukan seperti itu maksud dan mauku. Sabarkan Hamba, hamba yakin rencanaMu jauh lebih indah dari hanya sekedar berlarian diatas pasir pantai yang putih lalu bergandengan sembari duduk menikmati senja, atau dibasahi hujan berdua dalam perjalanan pulang dari pantai. Aku yakin itu, dan yang tidak aku yakin adalah mampukah aku bersabar sampai EngkAu memKUN-FAYA-KUNkan renca indahMu itu. Maka ku minta berikanlah aku kesabaran, buatlah aku bersabar.
Se[b]enarnya, tidak sepanjang itu juga aku berdoa untuk kesuksesanku menjalani pilihan keadaan ini. Doa untuk kedua insan perwakilan TuhAn yang dikirim ke dunia fana ini tetap yang pertama dan utama dan yang paling panjang dan paling lengkap. Doa panjang bertele-tele diatas itu karena ditulis, kalau dilafalkan diatas tangan yang sedang dalam posisi “ngemis” (boso jowo) cuma berbunyi lirih tapi khusuk, seperti bisikan sebua rahasia dalam misi penting politik, bisa jadi jika dilafalkan seperti ini “bos ingat posisimu ini, jika masih ingin disini mainkan permainan untukku. Kecuali bos sudah ikhlas”, “ya Allah, sabarkan aku, besarkan ikhlasku atas keyakinanku”
Aduh, kalau sudah politik akan susah membedakan mana yang “tulus” mana yang “bulus”.
Politik ya? Ini termasuk tidak ya?
Kan aku menunggu dengan ikhlas? Masih ihklas ketika didalamnya ada harapa?
Doa yang tulus? Tidak berdoa jelek untuk mereka tapi berdoa agar harapannya sendiri agar dikabulkan?
Aku tanyakan pada pasir, sepertinya dia tahu.
Lalu jawaban pasir akan aku adukan pada senja.
Kemudian hujan akan menyimpulkannya.
Dan akhirnya yang tepat hanya jawaban yang diberikan oleh waktu.


Yang gagal setelah mencoba, itu bukan gagal tapi itu adalah hasil. Yang gagal adalah yang tidak pernah meng-hasil-kan. 17 Agustus 17

Komentar

Postingan Populer